AK-47 SENJATA PEMUSNAH PALING DAHSYAT
Simbol Perlawanan dan Perjuangan
Bisa digunakan oleh siapa saja, tak mudah macet dan gampang dirawat.
Kelebihan itulah yang membuat 50 angkatan bersenjata dan tak terhitung kelompok
perlawanan, memilih AK 47 sebagai senjata utama bagi para personelnya.
Akurasinya memang tidak sebaik M16, namun sebagai senapan untuk pertempuran
jarak dekat kelemahan ini bukanlah perkara serius. Hingga kini kira-kira telah
beredar 75 sampai 100 juta pucuk di seantero dunia. Reputasinya yang mendunia
dengan sendirinya diikuti catatan buruk bahwa senapan ini juga telah membunuh
begitu banyak orang. AK telah menewaskan jutaan orang dan mengakibatkan jutaan
lainnya mengungsi. Ini jauh lebih besar dari korban bom atom di Jepang. Tak
heran jika kepadanya disematkan predikat senjata pemusnah paling dahsyat di
dunia. The most devastating weapon in the world
Kisah pertempuran antara (helikopter serang Angkatan Darat AS, AH-64D Longbow,
dengan tentara Irak bersenjatakan AK‑47 yang terjadi di Bagh‑ dad pada 23
Maret 2003 adalah kisah pertempuran tak imbang paling dahsyat yang bisa
digunakan untuk menggambarkan kesaktian senapan ini. Dari sini dunia bisa
melihat bahwa betapa AS telah menginvestasikan miliaran dollar untuk senjata
canggih yang bisa memusnahkan sebuah tempat dari ruang angkasa, AK-47 yang bisa
ditebus dengan hanya 15 dollar masih tetap menjadi senjata pemusnah massal
yang paling menakutkan di dunia.
Helikopter serang AH-64 Apache, andalan Angkatan Darat
AS untuk serangan darat dan antitank dalam Operasi Iraqi Freedom. Heli ini
biasa dilengkapi kanon, roket dan rudal. Dalam kontak senjata di Baghdad,
23 Maret 2003, hell sangar ini toh bisa ditundukkan oleh milisi Irak yang hanya
bersenjatakan AK-47.
Pada hari itu, alkisah, AD AS mengerahkan 32 AH-64 versi Longbow dan
Apache untuk membuka jalan bagi iring-iringan kendaraan pasukan
koalisi yang akan masuk ke dalam kota Baghdad dari arah utara. Ini adalah hari
ketiga terhitung setelah AS dan pasukan koalisi memulai serangan ke Irak.
Operasi militer untuk menumbangkan kekuasaan Saddam Hussein ini dikenal pula
dengan sebutan Operasi Iraqi Freedom.
Helikopter antitank spesialis search and destroy itu sengaja
dikerahkan dalam jumlah ban-yak karena situasi ibukota Irak belum sepenuhnya
dikuasai. Di sana, dikuatirkan
masih banyak bercokol personel Garda Republik – pasukan elit pengawal Presiden
Saddam Hussein. Mereka kabarnya memiliki senjata antipersonel rudal darat ke
darat dan roket ATACMS berhulu ledak born seberat 950 pon.
Tapi apalah artinya senjatasenjata itu dibanding kanon 30 mm milik Apache
yang mampu menyemburkan 320 peluru per-detik dan rudal antitank AGM-114 Hellfire
yang sanggup menjebol tank? Dengan berbagai persenjataan mematikan yang
ditenteng helikopter-helikopter itu, AD AS kelihatan percaya diri. Apalagi
karena helikopter serbu itu terbang tidak sendirian.
Namun, tak lama setelah memasuki kota,
wajah pilot-pilot AD AS itu sontak berkerut, khususnya setelah melihat
sekelebat cahaya dari sebuah sudut jalan. Dua menit kemudian, nyali mereka
tiba-tiba menciut setelah ribuan peluru menghambur dari berbagai arah ke arah
helikopter yang mereka terbangkan. Kedatangan mereka rupanya sudah ditunggu.
Spot cahaya itu ternyata aba-aba serangan. Tidak ada satu sasaran pun yang
bisa dibidik secara fokus oleh pilot Apache. Tembakan berasal dari
berbagai titik, dari atap-atap gedung, dari gang, dari mana saja. Yang paling
mencengangkan peluru-peluru itu bukanlah peluru kanon. Bagi para pilot
peluru-peluru itu sangat kecil. Peluru-peluru itu ternyata berasal dari moncong
senapan AK. Namun demikian, meski hanya berasal dari kaliber 7,62 mm, 31 dari
32 helikopter tempur ini benar-benar kerepotan dan mundur karena mengalami
kerusakan. Kemana yang satu lagi? Terjangan peluru AK ternyata berhasil
membuatnya jatuh. Kedua awaknya lalu menjadi tawanan perang.
Bob Duffney, salah seorang pilot Apache yang ‘mundur’ dari ajang
pertempuran itu kemudian bercerita. Seperti dirasakan pilot-pilot Apache lainnya,
is mengatakan, model pertempuran yang dihadapi di Irak benar-benar baru
sekaligus menyeramkan “Kami ditembaki oleh senapan AK dari segala arah. Saya
sendiri mendapat tembakan dari depan, belakang, kiri, kanan Dalam
operasi Desert
Storm, kami sama sekali tak mengalami perlawanan sehebat ini.”
Hingga saat itu para panglima perang dan prajurit AS tak pernah memandang
serius daya bunuh AK. Padahal kejadian segenting ini, pernah dialami prajurit
Ranger ketika menggelar operasi penangkapan Jenderal Mohammed Farrah Aidid, 3
Oktober 1993 di Mogadishu, Somalia.
Beberapa personel yang ingin menyelamatkan awak udara dari dua heli UH-60 Blackhawk
yang jatuh dalam operasi tersebut, pernah dibuat tak berkutik akibat
dihujani peluru AK oleh pasukan Aidid. Operasi penangkapan Aidid itu pun
berubah menjadi operasi penyelamatan awak udara dan prajurit Ranger yang
terjebak di Mogadishu.
AB AS, semasa pemerintahan Bill Clinton, talc akan pernah melupakan
kegagalan operasi Gothic Serpent. Pasalnya, dalam operasi penangkapan
Aidid yang semula dibayangkan sangat mudah itu telah tewas 18 personel AS sementara
79 lainnya pulang dalam keadaan terluka. Mereka juga talc akan pernah
melupakannya, karena pasukan Aidid sebaliknya berhasil menangkap Mike Durant,
satu-satunya pilot Blackhawk yang selamat dalam pertikaian berdarah
itu.
Kisah kegagalan operasi penangkapan Mohammed Farrah Aidid dapat disimak
dalam film layar lebar Black Hawk Down (2001) karya sutradara Ridley
Scott. Sama dengan sikap awak AH-64 Apache yang akan masuk kota
Baghdad, awak UH-60 juga memasuki kota
Mogadishu dengan perasaan jumawa.
Pikir mereka, mana mungkin milisi dari negeri miskin mampu menghadapi serombongan
helikopter bersenjata dan prajurit perkasa AS? Tembakan RPG tanpa dinyana
berhasil merontokkan dua Blackhawk dan operasi ini pun berubah menjadi
horor bagi pasukan elit AS.
Gothic Serpent dipimpin oleh Brigjen William F. Garrison, perwira
brilian yang dalam catatan reputasinya pernah ikut mendukung operasi
penangkapan Pablo Escobar, raja kartel obas bius Colombia
pada 1993. Operasi ini didukung 160 personel, 19 pesawat termasuk helicopter
komando dan pengendali A/MH-6 Little Bird–, 12 kendaraan angkut
personel, serta persenjataan canggih lain. Jumlah serta kecanggihan sistem
persenjataan rupanya tak bisa memberangus keberingasan pasukan Aidid. Meski
kekuatan mereka hanya bertumpu pada AK, Rocket Propelled Granade (RPG),
dan kanon konvensional.
Bagi AS,
pertempuran di Mogadishu merupakan
pertempuran dalam kota paling
dramatik. Untuk mengantisipasi pertempuran sejenis, Marinir
AS kemudian berinisiatif menggelar Urban
Warrior Program. Program ini didedikasikan agar setiap prajurit mampu
menghadapi lawan yang hanya berbekal AK. Pimpinan Marinir AS sempat menyatakan,
AK tak bisa disepelekan karena se napan ini masih akan jadi andalan untuk
konflik masa depan.
Para pejuang Mujahidin dari Distrik
Achin, Afghanistan,
tengah berkumpul dengan AK-47 di tangan. Bersama pasukan koalisi, mereka tengah
merencanakan untuk melawan Taliban (atas).
Bagi Angkatan Bersenjata AS, pertempuran Mogadishu dan Baghdad adalah
indikator betapa perang masa depan masih akan diwarnai pertempuran –
pertempuran asimetrik Pertempuran asimetrik adalah pertempuran antara dua
kekuatan yang berbeda dengan persenjataan berbeda, dan dengan doktrin yang
berbeda pula. Dalam pertempuran jenis ini, kemenangan belum tentu berpihak
pada kekuatan dengan persenjataan yang lebih hebat Kekuatan yang lebih kecil
bisa memberi pukulan telak karena cenderung mengenal medan
dan berani melancarkan taktik perang gerilya.
Tentara Uni Soviet di Afghanistan. Mereka menggunakan
AK-74.
Namun demikian, apa yang dipikirkan AB AS ternyata tak selalu sejalan dengan
apa yang dipikirkan pars politisi. Larry Kahaner, wartawan Business Week yang
kini terkenal namanya lewat buku AK-47: The Weapon that Changed the Face of
War (2008) menegaskan hal itu. Katanya, me-ski berbagai konflik di dunia
telah menguatkan kenyataan bahwa jumlah AK telah menggunung dan telah merembes
ke berbagai negara dunia ketiga, kaum politisi di berbagai negara maju tetap
sulit memahami, bahwa ada kekuatan tersembunyi di balik senjata sederhana
macam AK. Terlebih jika senapan ini ada di tangan sekawanan pasukan yang
brutal.
Lebih jauh Kahaner mengungkap, sayangnya, kaum politisi memang kerap
memandang remeh daya rusak senapan yang satu ini. Padahal, jika mereka mau
melihat keadaan sebenarnya di berbagai daerah konflik Afrika, Asia,
dan Amerika Selatan, senapan ini telah merusak segalanya. Tiap tahun, katakan
saja begitu, peluru AK telah mencabut nyawa seperempat juta orang dan bilcin
menderita keluarga yang ditinggalkan.
Sebagian korban adalah milisi anggota kelompok perlawanan. Ironisnya,
kematian yang mereka hadapi hanyalah kesia-siaan karena mereka tak pernah benarbenar
mendapat imbalan yang telah dijanjikan. Sudah menjadi pemakluman tersendiri
bahwa milisi yang tewas di medan pertikaian seperti di Somalia, Sudan, Sierra
Leone, Jalur Gaza, Afghanistan, serta Nikaragua, Kolumbia, Peru, dan
negara-negara Amerika Selatan lainnya, hanyalah korban dari kesewenangan
pimpinannya Hanya pimpinan kelompoklah yang sesungguhnya mendapat untung.
UNICEF juga punya penilaian serupa. Kematian jutaan anak akibat small-arm
benar-benar bikin miris. Menurut mereka, sejak 1990, lebih dari dua juta
anak terbunuh, enam juta lainnya mengalami cidera serius, dan lebih dari 22
juta telah kehilangan tempat tinggal. Selain disebabkan oleh penyalahgunaan small-arm,
bencana juga ditimbulkan oleh pemakaian light weapon. (Carol
Bellamy, Direktur Eksekutif UNICEF, dalam pamflet No Gun Please: We Are
Children, 2001).
“Tiap tahun paling tidak ratusan ribu orang meninggal siasia akibat
senjata-senjata ini dan jutaan lainnya terluka,” tambah Bellany. UNICEF tak
hanya menuduh AK. Small arm menurut batasan mereka, adalah segala
jenis senjata api yang pemakaiannya dirancang untuk perorangan. Masuk dalam
kategori ini adalah pistol, senapan serbu, sub-machine gun, carbine, dan
senapan mesin ringan. Sementara untuk kategori light weapon, mereka
menyebut: senapan mesin berat, kanon dan rudal anti pesawat portabel, mortir,
roket dan rudal antitank. Light weapon dioperasikan oleh lebih dari
satu orang.
Bertahun-tahun Unicef melancarkan kecaman terhadap
pihak-pihak di berbagai negara dunia ketiga yang menyalahgunakan small-arm.
Penyalahgunaan small-arm dinilai telah mengakibatkan jutaan orang dan anak-anak
terbunuh sia-sia, dan menciptakan penderitaan yang tak berkesudahan.
Bagaimana AK
bisa mengakibatkan semua itu terjadi, tak seorang pun bisa menjawab dalam satu
jawaban. Bahkan sang pencipta sekalipun, yakni Mikhail Timofeevich Kalashnikov,
hanya bisa angkat bahu. Ia menampik semua penilaian buruk itu dengan menyatakan
bahwa dirinya hanya sekadar merancang dan membuat. Senjata ini dianggapnya telah
berjalan dan menentukan nasibnya sendiri Inilah yang kemudian menjadi kisah
yang tak berkesudahan (never ending story) dari sang senapan. Talc
seorang pun bisa mengekang bahwa senjata rancangan zaman Perang Dunia II ini
masih akan bertahan hingga perang masa depan.
Kepada Joel Roberts, wartawan CBSNews, Kalashnikov menegaskan dirinya hanya
sekadar pencipta. Bahwa, ciptaannya itu kini menjadi mesin pembunuh paling
dahsyat, is bukan lagi umsannya. “Saya akan tetap merasa tak bersalah, dan
akan tetap bisa tidur nyenyak. Sebab, saya merancang senjata ini murni untuk
mempertahankan negeri saya dari serangan Jerman,” ujarnya.
“Semua tuduhan itu seharusnya bukan untuk saya. Percayalah, saya bahkan tak
menerima secuil pun royalti darinya. Kesalahan ada pada para politisi yang
pintar memutarbalikkan fakta dan menarik keuntungan dari semua pertikaian
yang mereka ciptakan,” tambah mantan supir tank AD Rusia yang kini masih hidup
dalam usia 91 tahun.
Perang Dunia II sendiri tak serta-merta mencuatkan profil AK. Senapan ini
masih meniti perjalanannya dan menjalani sejumlah penyermpurnaan. Nama AK baru
benar-benar bersinar setelah menjadi lawan tanding M14 dan M-16 dalam kancah
Perang Vietnam.
Dalam perang inilah AK 47 terbukti battle proven. Banyak prajurit AS
bahkan mengaku lebih menyukai AK ketimbang M-16 yang katanya kerap macet dan
mengalami kerusakan. AK 47 yang waktu itu menjadi andalan tentara Vietnam Utara
dan Vietkong, diakui superior dan tepat untuk pertempuran jarak pendek. Bagi
para GI, justru senapan seperti inilah yang mereka perlukan dalam pertempuran
di Vietnam.
Namun, kala itu nama AK belum sepenuhnya mendunia. Namanya baru benar-benar
mendunia setelah tentara Uni Soviet menenteng senapan ini masuk ke Afghanistan
pada 1979. Dalam upaya menguasai negeri yang menarik perhatian karena cadangan
gas dan opium kulaitas tingginya itu, Uni Soviet membawa AK dari jenis baru,
yakni AK 74. Dibanding AK 47, peluru AK 74 jauh lebih mematikan. Ukuran
kalibernya lebih kecil. Jika AK 47 standar menggunakan peluru kaliber 7,62 mm,
AK 74 menggunakan peluru 5,45 x 39 mm.
Akan tetapi, bukan ukuran yang membuatnya mematikan. Yang membuatnya
mematikan adalah kecepatannya yang jauh lebih tinggi serta konstruksi
proyektilnya yang mudah hancur ketika menembus tubuh. Itu karena kulit
proyektilnya yang sangat tipis sementara di dalamnya berongga. Ketika proyektil
masuk ke dalam tubuh, proyektil akan segera pecah menjadi butiran-butiran kecil
dan menyebar. Hal ini lah yang akan mengakibatkan luka lebih lebar dari biasanya
dan sulit ditangani.
Selama bertahun-tahun, peluru AK 74 menghantui para Mujahidin yang menjadi
seteru tentara Uni Soviet. Setiap kali mereka menyerbu desa-desa, senapan yang
diberondongkan tentara Soviet itu pasti menelan banyak korban. Talc sedikit rumah
sakit yang menyerah menangani luka akibat tembakan senapan ini. Sedemikian
frustasinya para Mujahidin menghadapi senapan tersebut, mereka lalu menyebut
peluru AK 74 sebagai peluru beracun.
AK 47 di tangan anak-anak dan wanita. Kemudahan dalam
menggunakannya membuat senapan ini menjadi andalan tentara anak-anak di Afrika
dan Amerika Selatan. Unicef menentang habisan-habisan organisasi perlawanan
yang telah melibatkan anak-anak sebagai satuan pembunuh. Di Iran, Irak, dan Pakistan.
Jangankan para Mujahidin, intelijen Barat pun mengaku jeri dan harus
bekerja keras untuk mengetahui secara persis jenis senapan tersebut. Informasi
cukup lengkap baru muncul setelah koresponden majalah Soldier of Fortune membeberkannya
pada majalah ini sekitar tahun 1980. Dari semua data yang mereka peroleh,
intelijen Barat barulah menyadari bahwa peluru yang amat ditakuti itu rupanya
berasal dari AK tipe baru, yakni AK 74. Senapan ini adalah hasil penyempurnaan
AK 47.
Wanita bahkan juga "menyukai" senapan ini.
Prakarsa untuk memperkecil kaliber peluru rupanya datang dari TsNIITochmash,
sebuah kelompok enjinir persenjataan di Uni Soviet. Mereka mengerjakannya pada
dasawarsa 1960-an setelah mengikuti rekam jejak peluru 5,56 mm M-16. Namun oleh
karena ketidaksempurnaan mekanis senapan, peluru tersebut ditinggalkan Oleh
kelompok enjinir lain, peluru itu diambil kembali lalu dijadikan standar cartridge
untuk AK 74.
Bukan rahasia lagi, jika intelijen Barat – khususnya CIA – kerap keluar
masuk Afghanistan.
Mereka ini adalah kepanjangan tangan pemerintahan masing-masing yang pada
kenyataannya juga punya banyak kepentingan di negeri ini. AS, misalnya, diketahui
kerap memberikan bantuan uang dan senjata untuk para Mujahidin karena sama-sama
punya perhatian besar pada gas, minyak, dan opium Afghanistan.
Kemunculan AK 47 di medan
pertempuran nyatanya cukup bikin repot CIA, karena dengan sendirinya para
Mujahidin berharap AS memberi dukungan senjata yang sekelas. Senapan kiriman
pertama mereka, yakni .303 Lee Enfield dianggap tak memadai karena single
shot dan bolt action. Terlalu riskan untuk menandingi AK 74 yang
bisa memuntahkan 650 peluru dalam semenit. Kunci satu-satunya untuk menandingi
senapan ini adalah senapan serbu sejenis. Selain dibuat di dalam negeri (Uni
Soviet), AK 74 juga dibuat di China,
Bulgaria,
Jerman Timur dan Romania.
CIA pun memburu senapan ini.
Ternyata tak sulit untuk mendapatkan AK di pasaran umum. Kuncinya hanya
satu, yakni uang dan mau mendekati pemasok senjata Dalam sekejap, Howard Hart,
Kepala Kantor CIA di Pakistan, pun berhasil memesan ratusan ribu AK. Bukan AK
74, tapi AK 47. Senjata ini tidak didatangkan dari Soviet, tapi dari China
dan Polandia. Mesir dan Turki juga ketahuan ikut memasok.
AK-47 & Bayonet
Presiden AS Ronald Reagan menggelontorkan uang hingga 200 juta dollar,
sementara keluarga Raja Arab Saudia bersedia melipatgandakannya menjadi 400
juta dollar. Uang itu lah yang dibelanjakan CIA untuk membantu persenjataan
Mujahidin. Sejumlah sumber mengatakan, pasokan senjata yang dikelola CIA untuk
wilayah Afghanistan
pada 1988 itu dikenal sebagai yang terbesar sejak Perang Vietnam.
Dinas Intelijen AS ini total menyalurkan dana (yang diterima dari berbagai
donatur) hingga dua miliar dollar. Senjata biasanya di-drop terlebih dulu ke Islamabad
atau Karachi. Dari situ senjata
kemudian dipecah ke dua kota, yakni
Quetta dan Peshawar,
sebelum akhirnya dikirim ke Afghanistan.
Akibat dari perkembangan ini, para pemasok senjata pun kerap berkeliaran di Islamabad,
Karachi, serta beberapa kota
lain, dan menjadikan kota-kota itu sebagai pusat perdagangan senjata di Asia.
Perkembangan ini membuat Pakistan
tak hanya disinggahi para Mujahidin. Para penjahat, genggeng
kriminal, pedagang obat bius, dan tokoh-tokoh masyarakat yang ingin ikut
menikmati kekayaan alam Afghanistan
pun tak ayal juga kepincut untuk melawat. Otoritas setempat tak pernah
benar-benar melarang mereka, karena para pemasok senjata tahu benar apa yang
harus diberikan kepada oknum Dinas Intelijen Pakistan.
Alhasil, tak perlu menunggu waktu lama untuk membuat AK populer di
Pakistan, Afghanistan
dan negara-negara di sekitarnya. Hanya dalam beberapa tahun, koran Los
Angeles Times bahkan sudah menggambarkan Pakistan
bak Wild West — julukan untuk Amerika di masa koboi. “Jika Anda ingin
Kalashnikov, datang saja ke Hyderabad.
Di sana ada sekitar 8.000 AK, dan
Anda bisa dapatkan dengan harga 15.000 rupee atau sekitar 850 dollar. Jika uang
tidak cukup, beri saja panjer 5.000 rupee. Gunakan untuk merampok bank, lalu
bayar sisanya dengan uang hasil rampokan,” begitu gurauan yang ditulis LAT.
“Di Peshawar, Anda bahkan bisa menyewa AK jam-jaman kepada warga setempat,”
tulis kritikus yang lain, menggambarkan Pakistan
yang telah berubah menjadi salah satu kota
terpanas di dunia.
Di luar Asia sebenarnya ada kota-kota lain yang juga
disukai para pemasok senjata. Kota-kota itu ada di Liberia,
Burkina Faso, Guinea,
dan Pantai Gading di Afrika. Mereka juga menyukai beberapa tempat seperti Lebanon,
Israel, Panama,
Nicaragua dan Colombia.
Negara-negara ini disukai oleh karena potensi konflik yang memang begitu
tinggi. Namun demikian, di antara negara-negara itu, banyak pihak menyatakan,
tak ada yang hampir menyamai Pakistan
kecuali Nicaragua.
Nicaragua,
pada dasawarsa 1980-an, juga merupakan surga lain bagi para pemasok senjata. Di
negara ini puluhan ribu AK digunakan dan mengalir ke negaranegara lain di
Amerika Selatan. Lewat cara-cara yang unik, yang mana di dalamnya CIA juga
terlibat, senapan juga dikirim ke Peru, El Salvador, Panama, Honduras, dan
Venezuela. Jika disimak lebih lanjut, ada beberapa kesamaan yang membuat AK
mengalir deras ke Amerika Selatan. Kesamaan itu adalah stabilitas pemerintahan
yang rapuh dan maraknya perdagangan obat bius.
Nicaragua
sendiri tak banyak berperan dalam perdagangan obat bius. Namun, karena
posisinya yang sangat strategis, yakni ada di tengah-tengah negara penghasil
kokain, negeri ini enak dijadikan pijakan bagi para pemasok senjata. Terlebih
karena CIA pernah memberikan bantuan senjata dalam jumlah besar bagi para
pejuang Contra – organisasi perlawananan yang berseberangan dengan
pemerintahan Sandinista yang berkuasa saat itu.
Kisah keterlibatan CIA di Nicaragua
sendiri mencuri perhatian dunia setelah Kongres
AS dan Komisi
Tower menyingkap Skandal
Iran-Contra pada 1986. Dalam skandal yang dikendalikan Letkol Oliver L. North
dari Dewan Keamanan Nasional itu, AS menjual senjata antitank kepada Iran,
sementara keuntungan dari hasil penjualan dibelikan senjata ringan (sebagian
besar adalah AK) untuk mendukung perjuangan Contra. Kasus ini dinyatakan
sebagai skandal karena proses penjualan senjata kepada Iran
telah menciderai seruan embargo yang dinyatakan sendiri oleh Pemerintah
AS, dan Presiden Ronald Reagan akhirnya
mengaku mengetahui dan menyetujui transaksi ini.
Misi rahasia dukungan persenjataan kepada Contra mulai tercium setelah
tentara Nicaragua
menembak jatuh pesawat asing ketika melintas di atas kota
San Carlos pada 1986. Pesawat kargo
C-123 warna kamuflase Vietnam
ini ternyata bermuatan AK, 100.000 amunisi, RPG dan logistik. Dua awaknya
tewas, sementara seorang lagi, yakni Eugene Hasenfus, selamat. Lewat
interogasi, Hasenfus akhirnya mengaku bahwa barang-barang itu adalah kiriman
CIA untuk Contra.
Cerita Kopassus dengan Senjata AK
47
Mikhail
Kalashnikov, desainer senjata untuk Uni Soviet yang namanya diabadikan sebagai
nama senjata api paling populer di dunia AK-47 kemarin meninggal di usia 94
tahun.
Senapan AK-47 (Avtomat Kalashnikov 1947) telah disukai oleh para gerilyawan, teroris, dan tentara di banyak negara. Diperkirakan seratus juta senjata ciptaannya telah tersebar di seluruh dunia.
Senjata ini sempat jadi senapan serbu tentara Indonesia. Hubungan mesra antara Indonesia dan Uni Soviet membuat ribuan pucuk senjata AK-47 mengalir ke Indonesia tahun 1960an.
Saat itu hanya pasukan elite yang dapat jatah AK-47. Komando Pasukan Khusus yang dulu bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), salah satunya.
Namanya senjata dari Blok Timur sana, tentu semua petunjuk di badan senjata tertulis dalam bahasa Rusia. AK-47 punya dua mode tembakan, otomatis untuk memberondong peluru. Satu lagi mode tembakan semi otomatis.
Pada senapan AK-47 jika posisi kunci diturunkan satu 'click' ke bawah, terdapat tulisan OB untuk tembakan otomatis. Jika diturunkan satu 'click' lagi ke bawah ada tulisan OA untuk tembakan semi otomatis.
Nah, biar gampang mengingatnya, anggota Korps Baret Merah yang berasal dari Jawa menggunakan istilah sendiri. Singkatan dalam bahasa Rusia diterjemahkan dalam Bahasa Jawa.
Maka singkatan 'OB' diterjemahkan menjadi 'okeh banget' atau banyak sekali untuk mode tembakan otomatis. Sementara 'OA' diterjemahkan menjadi 'ora akeh', atau tidak banyak untuk tembakan semi otomatis.
Para prajurit pun tak pusing lagi menghapal mode tembakan senjata berpopor kayu itu. Hal ini jadi humor di antara mereka.
Demikian dikisahkan dalam buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando yang ditulis wartawan perang Hendro Subroto dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2009.
Seorang pensiunan bintara RPKAD, Maman, mengenang senjata ini memang bisa diandalkan. AK-47 dikenal bandel dan jarang macet.
"Dari Trikora, lalu Dwikora, penumpasan G30S, itu RPKAD pakai AK-47. Mudah dipakai, mudah dibersihkan dan dirawat. Dipakai berenang di laut atau masuk lumpur juga tidak masalah," katanya.
Hal ini sesuai dengan harapan sang pencipta AK-47 Mikhail Kalashnikov.
"Para tentara bukanlah lulusan universitas. Mereka perlu senjata yang sederhana dan bisa diandalkan. Mereka tidak punya waktu untuk mencari tahu bagaimana mengoperasikan senjata yang rumit dan memencet banyak tombol saat musuh mendekat," kata dia saat diwawancarai CNN beberapa tahun lalu.
Senapan AK-47 (Avtomat Kalashnikov 1947) telah disukai oleh para gerilyawan, teroris, dan tentara di banyak negara. Diperkirakan seratus juta senjata ciptaannya telah tersebar di seluruh dunia.
Senjata ini sempat jadi senapan serbu tentara Indonesia. Hubungan mesra antara Indonesia dan Uni Soviet membuat ribuan pucuk senjata AK-47 mengalir ke Indonesia tahun 1960an.
Saat itu hanya pasukan elite yang dapat jatah AK-47. Komando Pasukan Khusus yang dulu bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), salah satunya.
Namanya senjata dari Blok Timur sana, tentu semua petunjuk di badan senjata tertulis dalam bahasa Rusia. AK-47 punya dua mode tembakan, otomatis untuk memberondong peluru. Satu lagi mode tembakan semi otomatis.
Pada senapan AK-47 jika posisi kunci diturunkan satu 'click' ke bawah, terdapat tulisan OB untuk tembakan otomatis. Jika diturunkan satu 'click' lagi ke bawah ada tulisan OA untuk tembakan semi otomatis.
Nah, biar gampang mengingatnya, anggota Korps Baret Merah yang berasal dari Jawa menggunakan istilah sendiri. Singkatan dalam bahasa Rusia diterjemahkan dalam Bahasa Jawa.
Maka singkatan 'OB' diterjemahkan menjadi 'okeh banget' atau banyak sekali untuk mode tembakan otomatis. Sementara 'OA' diterjemahkan menjadi 'ora akeh', atau tidak banyak untuk tembakan semi otomatis.
Para prajurit pun tak pusing lagi menghapal mode tembakan senjata berpopor kayu itu. Hal ini jadi humor di antara mereka.
Demikian dikisahkan dalam buku Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando yang ditulis wartawan perang Hendro Subroto dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2009.
Seorang pensiunan bintara RPKAD, Maman, mengenang senjata ini memang bisa diandalkan. AK-47 dikenal bandel dan jarang macet.
"Dari Trikora, lalu Dwikora, penumpasan G30S, itu RPKAD pakai AK-47. Mudah dipakai, mudah dibersihkan dan dirawat. Dipakai berenang di laut atau masuk lumpur juga tidak masalah," katanya.
Hal ini sesuai dengan harapan sang pencipta AK-47 Mikhail Kalashnikov.
"Para tentara bukanlah lulusan universitas. Mereka perlu senjata yang sederhana dan bisa diandalkan. Mereka tidak punya waktu untuk mencari tahu bagaimana mengoperasikan senjata yang rumit dan memencet banyak tombol saat musuh mendekat," kata dia saat diwawancarai CNN beberapa tahun lalu.
No comments:
Post a Comment